Jakarta - Ada beberapa agama yang dianut masyarakat Indonesia sebagai bangsa yang religius. Tiap agama memiliki ciri khas masing-masing, salah satunya rumah ibadah. Tempat ibadah tumbuh subur di Indonesia sesuai kebutuhan umat."Masing-masing agama membangun sarana dan komunitasnya. Gereja, masjid, vihara, pura, klenteng tumbuh berbaur dalam komunitas masyarakat pemeluknya," tulis buku Toleransi Beragama karya Dwi Ananta tersebut menjelaskan nama tempat ibadah Budha, Islam, Kristen, Katholik, Hindu, dan Konghucu serta fungsinya1. Tempat ibadah IslamSelain di rumah, umat Islam biasa beribadah di masjid atau mushola. Masjid berasal dari kata sajada yang artinya tempat sujud, Sedangkan mushola adalah masjid berukuran kecil, yang disebut dengan langgar atau ibadah Islam tak hanya menjadi tempat ibadah bagi muslim. Perayaan hari besar, ceramah, belajar, diskusi, dan kajian bisa dilakukan di masjid. Dalam sejarahnya, masjid juga menjadi sarana aktivitas sosial masyarakat dan Tempat ibadah Kristen dan KatolikUmat kedua agama tersebut beribadah di gereja, yang mudah ditemukan di lingkungan umum. Sama seperti masjid, gereja tidak hanya menjadi sarana ibadah. Tapi juga menjalin komunikasi antar umat dan lingkungan satunya lewat kegiatan sosial yang bertuan membantu masyarakat luas. Misal mengumpulkan makanan dan membaginya pada yang membutuhkan, organisasi amal, bantuan pada tunawisma, dan pendidikan pada segala lapisan Tempat ibadah HinduHindu menjadi agama berikutnya yang dianut masyarakat Indonesia. Tempat ibadah Hindu adalah Pura yang memiliki beberapa klasifikasi dan fungsi. Pura menjadi tempat berdoa pada Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, para dewa, dan roh sebagai tempat ibadah, Pura menjadi sarana melakukan kegiatan sosial. Misal sarana pendidikan moral, mewujudkan rasa bakti, dan belajar berbagai keterampilan yang Tempat ibadah BudhaNama tempat ibadah Budha adalah Vihara atau kerap ditulis Wihara. Layaknya tempat ibadah agama lain, Vihara memiliki banyak fungsi selain sarana berdoa. Salah satunya sarana sosial Vihara lainnya adalah fasilitas pendidikan, pengembangan budaya, dan membangun komunitas umat Budha di Indonesia. Vihara tentunya bukan tempat ibadah asing bagi masyarakat Tempat ibadah KonghucuMasyarakat Indonesia mengenal tempat ibadah Konghucu sebagai Klenteng atau Kelenteng. Keberadaannya tak bisa dilepaskan dari sejarah dan karakter masyarakat Indonesia yang fungsi Klenteng adalah fasilitas ibadah, sarana pendidikan moral dan spiritual, pengembangan budaya, dan kegiatan sosial lainnya. Seperti rumah ibadah lain, Klenteng adalah situs sejarah dan pelestarian budaya tulisan tentang rumah ibadah Budha dan agama lainnya bisa menambah pengetahuan detikers. Simak Video "Kartini, Islam dan Hadiah Pernikahan Tafsir Al-Qur'an" [GambasVideo 20detik] row/lus
Dankalau terlewat maka ibadah umrohnya menjadi tidak sah. Nah kali ini saya akan bagikan beberapa tempat yang dikunjungi ketika ibadah Umroh. Tempat-tempat tersebut memiliki sejarah yang amat penting dalam Ibadah. Sebagai bahan evaluasi diri seseorang bagi keimanannya. Berikut tempat-tempat yang harus dikunjungi ketika umroh : 1.
Gereja dan masjid di DiyarbakiFoto DWSuatu saat seorang pejabat pemerintah Tiongkok Republik Rakyat Cina mendengar kabar bahwa ada pengurus majelis sebuah agama di negaranya yang membangun sebuah rumah ibadah yang sangat megah, indah, dan elok. Mungkin lantaran tidak berkenan, sang pejabat tadi menemui pengurus majelis yang kaya-kaya itu dan mengajak mereka keliling jalan-jalan melihat pemukiman penduduk di sekitar rumah ibadah tersebut. Oleh pejabat tadi, mereka diajak blusukan masuk ke dalam kompleks perkampungan melewati gang-gang sempit, lorong-lorong kumuh, dan rumah-rumah penduduk yang kusam dan saling berhimpitan. Tak pelak, bau busuk sampah dan got mampet pun menyengat hidung. Sang pejabat kemudian mengajak pengurus majelis masuk ke sebuah rumah reot nan kumuh. Mereka pun kaget terperangah melihat keadaan rumah itu berlantai tanah, kotor, bau pengap, penerangan ala kadarnya, dan barang-barang berserakan di segala sudut ruangan. Sebuah meja makan kecil dipenuhi piring kotor. Lauk dan sisa-sisa makanan berceceran di samping sebuah keranjang berisi seekor kucing tua yang sedang tiduran. Seorang ibu dan anaknya juga terlihat tidur di atas tikar kumal dengan “ditemani” lalat-lalat yang beterbangan di sekitarnya. Sang pejabat menoleh ke arah pengurus majelis yang masih terperangah dan ternganga seolah tak percaya dengan apa yang mereka lihat di depan mata. Sejurus kemudian sang pejabat pun bertanya kepada mereka “Apakah menurut kalian,Tuhan lebih suka melihat rumah-Nya dibangun dengan super mewah atau rumah hamba-hamba-Nya dibangun dengan agak layak, baik, dan sehat?" Pengurus majelis pun tak bersuara. Diam membisu. Penulis Sumanto al Qurtuby Foto S. al Qurtuby Berjubelnya Tempat-tempat Ibadah Penggalan kisah ini saya dapatkan dari sahabat karibku, Harjanto Halim, seorang pengusaha Tionghoa yang dermawan, filantropis, dan gemar membangun persaudaraan universal dengan berbagai kelompok etnis dan agama. Peristiwa pendirian tempat-tempat ibadah megah di tengah kompleks pemukiman kumuh dan kemelaratan warga bukan hanya terjadi di Cina saja tetapi juga di negara-negara lain di dunia ini, termasuk Indonesia. Di Indonesia kita sering menyaksikan berbagai bangunan tempat ibadah masjid, gereja, kuil, dlsb yang sangat megah dan indah. Berbagai kelompok agama seolah berlomba-lomba membangun tempat ibadah yang megah. Berbagai ormas dan kelompok Islam berlomba-lomba membangun masjid mewah. Berbagai denominasi Kristen berlomba-lomba membangun gereja yang megah. Begitupun umat agama lain. Oleh umat beragama, khususnya kelompok elitenya, berdirinya tempat-tempat ibadah itu dijadikan sebagai ukuran, tanda, atau simbol kesuksesan beragama dan peningkatan iman kepada Tuhan. Para “juru bicara” dan “wakil” Tuhan di dunia ulama, klerik, pastor, pendeta, pandita, atau apapun namanya giat mendakwahkan atau mewartakan dan bahkan memobilisir umat mereka masing-masing untuk beribadah, bersedekah, berderma, dan beramal saleh membangun tempat ibadah yang mereka sebut sebagai “rumah Tuhan”. Pembangunan tempat ibadah tidak cukup satu atau dua tetapi kalau bisa sebanyak mungkin. Saya–mungkin juga Anda–sering menyaksikan sebuah desa atau kompleks perumahan yang memiliki banyak masjid dan musala langgar. Padahal masjid atau musala tersebut sering atau bahkan selalu kosong. Hanya beberapa gelintir saja yang salat. Masjid ramai kalau Jumat saja untuk salat Jumat. Di kompleks tempat tinggalku, di sebuah daerah di Semarang, juga terdapat setidaknya empat masjid besar yang letaknya berdekatan belum lagi ditambah musala. Keempat masjid tersebut dikenal dengan sebutan masjid Muhammadiyah, masjid NU, masjid LDII, dan masjid nasionalis. Di kampung kelahiranku yang kecil-mungil di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, juga terdapat satu masjid besar dan empat musala. Bukan hanya umat Islam saja. Umat agama lain juga sama. Umat Kristen misalnya juga berlomba-lomba membangun gereja. Masing-masing denominasi dan kongregasi bersemangat mendirikan gereja, bila perlu yang megah, untuk kelompok Kristen mereka masing-masing. Mereka tidak mau kalah dengan kelompok Kristen dari gereja-gereja lain. Pembangunan “Rumah Tuhan” itu Tidak Penting? Pembangunan atau pendirian rumah ibadah oleh pemeluk agama sebagai tempat melakukan aktivitas ritual-keagamaan tentu saja hal yang sangat wajar. Dari masyarakat suku yang tinggal di daerah pelosok terpencil hingga masyarakat modern di kota-kota metropolitan memiliki tempat-tempat ibadah, bagi yang beragama tentunya. Manusia bukan hanya “makhluk ekonomi” economic man atau “makhluk politik” political man tetapi juga “makhluk spiritual” spiritual man. Pembangunan tempat-tempat ibadah itu dianggap sebagai bagian dari pemenuhan kebutuhan religi-spiritual umat manusia itu. Tetapi, jika umat beragama terus-menerus membangun tempat ibadah secara berlebihan tentu saja tidak wajar dan tidak bisa dibenarkan. Apalagi membangun tempat-tempat ibadah yang megah atau bahkan supermegah yang indah di tengah kemiskinan warga dan sesaknya ekonomi umat tentu saja sangat dan lebih tidak wajar dan tidak dibenarkan lagi, dan oleh karena itu pandangan dan pemikiran seperti ini perlu dikaji ulang, dipikir lagi, dan direnungkan kembali. Daripada untuk mendirikan “rumah Tuhan” yang megah, uang atau harta, benda tersebut akan lebih bermanfaat dan berdaya guna jika dipakai untuk membangun sarana-prasarana yang bisa membantu mewujudkan atau meningkatkan kesejahteraan dan kemaslahatan umat manusia untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, tempat tinggal; kesehatan; pendidikan; air bersih; dlsb. Lagi pula, apakah benar pembangunan tempat-tempat ibadah yang mentereng itu “dihadiahkan” kepada Tuhan? Dengan kata lain, betulkah tempat-tempat ibadah megah itu sebagai “rumah” Tuhan? Jangan-jangan pembangunan tempat-tempat ibadah yang megah itu bukan untuk “rumah” atau “kediaman” Tuhan, melainkan untuk rumah/kediaman para “wakil”-Nya atau “penyambung lidah”-Nya? Mereka hanya memakai Tuhan untuk dalih, stempel, dan atas nama saja. Tuhan yang “Maha Kaya” tentu saja tak perlu dibuatkan rumah megah oleh hamba-hamba-Nya yang jelata yang setiap saat berdoa dan meminta belas kasihan kepada-Nya. Selamat berefleksi. Penulis Sumanto Al Qurtuby adalah Direktur Nusantara Institute; dosen antropologi budaya di King Fahd University of Petroleum & Minerals, Arab Saudi; Visiting Senior Scholar di National University of Singapore, dan kontributor di Middle East Institute, Washington, Ia memperoleh gelar doktor PhD dari Boston University. Selama menekuni karir akademis, ia telah menerima fellowship dari berbagai institusi riset dan pendidikan seperti National Science Foundation; Earhart Foundation; the Institute on Culture, Religion and World Affairs; the Institute for the Study of Muslim Societies and Civilization; Oxford Center for Islamic Studies, Kyoto University’s Center for Southeast Asian Studies, University of Notre Dame’s Kroc Institute for International Peace Studies; Mennonite Central Committee; National University of Singapore’s Middle East Institute, dlsb. Sumanto telah menulis lebih dari 25 buku, puluhan artikel ilmiah, dan ratusan esai popular, baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia yang terbit di berbagai media di dalam dan luar negeri. Di antara jurnal ilmiah yang menerbitkan artikel-artikelnya, antara lain, Asian Journal of Social Science, International Journal of Asian Studies, Asian Perspective, Islam and Christian-Muslim Relations, Southeast Asian Studies, dlsb. Di antara buku-bukunya, antara lain, Religious Violence and Conciliation in Indonesia London Routledge, 2016 dan Saudi Arabia and Indonesian Networks Migration, Education and Islam London & New York Tauris & Bloomsbury. *Setiap tulisan yang dimuat dalam DWNesia menjadi tanggung jawab penulis. *Tulis komentar Anda di kolom di bawah ini. Duabangunan tempat ibadah yang megah berlokasi saling berhadapan di Ibukota Negara Indonesia, yaitu Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral. Meskipun Indonesia berpenduduk mayoritas Muslim, namun toleransi beragama sangat baik. Terbukti dengan dua bangunan rumah ibadah yang saling berhadapan hanya terpisah oleh jalan raya hingga hari ini dalam setiap kegiatan keduanya saling membantu, salah Alasan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral Dibangun BerdampinganPertamaKeduaKetigaSejarah Singkat Masjid Istiqlal dan Gereja KatedralMasjid IstiqlalGereja KatedralTerowongan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral Dua bangunan tempat ibadah yang megah berlokasi saling berhadapan di Ibukota Negara Indonesia, yaitu Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral. Meskipun Indonesia berpenduduk mayoritas Muslim, namun toleransi beragama sangat baik. Terbukti dengan dua bangunan rumah ibadah yang saling berhadapan hanya terpisah oleh jalan raya hingga hari ini dalam setiap kegiatan keduanya saling membantu, salah satunya dalam menyiapkan lahan parkir. sumber Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral keduanya memiliki arsitektur yang luar biasa, sehingga setiap orang yang belum pernah melihatnya akan terpukau. Kedua bangunan ini menjadi salah satu ikon Ibukota, bangunan penuh dengan nilai sejarah dan menjadi cagar budaya sangat layak menjadi salah satu tujuan dalam perjalanan ke DKI Jakarta. Alasan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral Dibangun Berdampingan sumber Pertama Alasan kerukunan beragama, sehingga mampu menciptakan toleransi antar pemeluk agama. ini dibuktikan dengan keteladanan orang nomer satu di Republik Indonesia kala itu, yaitu Presiden memberikan gagasan pembangunan masjid saling berdekatan antara Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral. Kedua Untuk perdamaian, umat Islam dan Katolik sudah membuktikan toleransi tersebut hingga menciptakan situasi yang damai. Contoh nyata salah satunya dengan menyediakan lahan parkir ketika ada kegiatan dari salah satu pihak, seperti ketika ada kegiatan Misa Malam Natal di Katedral, pihak Masjid Istiqlal memberikan tempat parkir bagi umat Katolik, begitu pula sebaliknya. Ketiga Letak Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral yang saling berhadapan sebuah simbol kerukunan beragama yang harus diimplementasikan oleh antar umat beragama sehingga kerukunan dan perdamaian terjaga, sesuai dengan watak dan karakteristik bangsa Indonesia. Toleransi dalam Islam sudah diterapkan sejak zaman Nabi Muhammad SAW dengan turunnya surat Al Kafirun pada lafadz ayat “Lakum diinukum waliyadiin” yang artinya “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”. Jadi untuk urusan muamalah antar Islam sangat dianjurkan, sehingga jika terjadi permasalah yang menyangkut orang Islam, itu karena pemahamannya yang kurang benar atau pemahamannya yang tidak utuh. Sejarah Singkat Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral Masjid Istiqlal Gagasan para tokoh agama Islam agar umat Islam memiliki Masjid Nasional di Ibukota sebagai simbol dari negara yang memiliki mayoritas umat Islam di Indonesia dan di dunia. Sekitar tahun 1944 beberapa ulama dan tokoh Islam mengusulkan kepada Presiden Soekarno untuk mengizinkan mendirikan Masjid Agung. Justru usulan tersebut disambut sangat baik oleh Presiden Soekarno, namun penjajahan Jepang masih menyulitkan untuk merealisasikan pembangunan tersebut. Di tahun 1950 ide pembangunan Masjid Agung muncul kembali atas prakarsa Menteri Agama Wahid Hasyim dan Anwar Tjokroaminoto dari Sarekat Islam beserta tokoh-tokoh Islam yang hadir pada pertemuan di Gedung Pertemuan Umum Deca Park, Medan Merdeka Utara. Hingga berhasil membentuk kepengurusan Yayasan Masjid Istiqlal yang di ketuai Anwar Tjokroaminoto. Kemudian diadakanlah sayembara Rencana Gambar Masjid Istiqlal yang dimenangkan oleh arsitek Friedrich Silaban. sumber Pembangunan Masjid Istiqlal merupakan proyek nasional karena Presiden Soekarno juga turut andil dalam proses pembangunan Masjid Istiqlal dengan mengusulkan lokasi pembangunan masjid. Akhirnya diputuskan bahwa lokasi berdirinya Masjid Istiqlal di bekas benteng Belanda yang berlokasi di Taman Wilhelmina. Lokasi tersebut sangat berdekatan dengan Gereja Katedral. Pemberian nama masjidpun dipilih Istiqlal yang artinya ” Merdeka ” yang memiliki makna rasa syukur dari sebuah Kemerdekaan bangsa Indonesia. Benteng Belanda sebagai simbol penjajahan akhirnya dibongkar dan dijadikan simbol baru kemerdekaan yaitu sebuah bangunan Masjid Agung yaitu Masjid Istiqlal. Proses pembangunan masjid sempat mandek karena situasi politik dalam negeri yang genting adanya peristiwa pemberontakan 30 September 1965 oleh PKI Partai Komunis Indonesia . Akhirnya pada tahun 1969 presiden Soeharto menyusun kembali Panitia Pembangunan Istiqlal, sehingga pada tanggal 22 Februari 1978 Masjid Istiqlal selesai dibangun. Masjid Monumen Kemerdekaan ini dibangun sebagai penghormatan kepada para pejuang muslim dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan sebagai rasa syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas limpahan rahmat berupa kemerdekaan bangsa. Gereja Katedral Gereja Katedral merupakan bangunan tua, karena Gereja Katedral dibangun sejak masa penjajahan Belanda. Di awali dari perintah Raja Louis dari Belanda 1806-1810 kepada Herman Willem Daendels untuk memimpin Hindia Belanda dan membantu para misionaris untuk mendirikan gereja bagi umat Katolik. Pada 1808 Daendels menghibahkan sebuah gereja dekat Istana Gubernur Jenderal di Weltevreden sekarang sekitar Monas sebagai pusat keuskupan Hindia Belanda. sumber Pada 1877 ada usulan untuk membangun Gereja Katedral karena gereja yang telah dihibahkan oleh Danedels sudah mengalami kondisi yang memprihatinkan. Namun usulan tersebut ditolak, sehingga pada 9 April 1890 Gereja Katedral Batavia roboh karena tiang rauh dan sudah tidak mampu menahan beban atap gereja. Kemudian Pastor Antonius Dijkmans mencoba melakukan pembangunan Gereja Katedral lagi dengan bantuan dari pribumi dan Tionghua. Tetapi karena keterbatasan danan maka Gereja Katedral tidak bisa diselesaikan. Selanjutnya jasa Luypen dengan mencari donatur ke umat Katolik maka renovasi Gereja Katedral bisa dilakukan dan pada November 1899 Gereja bisa dirampungkan. Untuk peresmian Gereja Katedral dilakukan pada 21 April 1901 oleh Gubernur Jenderal Rooseboom 1899-1904 dan pejabat kolonial lainnya. Saat ini Gereja Katedral menjadi salah satu simbol kerukunan antar agama, karena letak gereja berhadapan dengan masjid, yaitu Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral. Pada pemerintahan Presiden Joko Widodo, sang Presiden memiliki ide untuk membangun sebuah terowongan yang menghubungkan antara kedua tempat ibadah tadi yaitu Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral. Beliau beralasan, terowongan bisa mempererat silahturahmi antar uman beragama. Namun ide ini sangat kontroversial, banyak dari kalangan Muslim sangat tidak setuju jika dibangun sebuah terowongan. Karena bangunan dua tempat ibadah yang saling berhadapan itu sudah menjadi cerminan dari kerukunan antar umat beragama, dan hingga saat ini kerukunan dan perdamaian tetap terjaga.DiGang Ruhana ada 3 tempat ibadah yang berdekatan, yakni Masjid Al-Amanah yang berdiri sejak 2015, Wihara Girimetta yang sudah ada sejak 1946, dan Gereja Pantekosta yang dibangun pada 1933. Baca Juga: Semak Belukar Jadi Objek Wisata Viral. Apabila ada momen besar seperti natal, warga muslim dan hindu ikut membantu mempersiapkan segalaPertanyaan Di daerah kami ada dua masjid yang berdekatan, salah satunya biasanya penuh dengan jamaah shalat, dan yang lain sepi dari jamaah shalat, bahkan kadang tidak dibuka. Dalam kondisi seperti itu mana yang lebih utama dari keduanya, apakah shalat di masjid yang penuh dengan jamaah atau memakmurkan masjid yang satunya? Kedua; -Semoga Allah memberikan keberkahan kepada anda- imam dari masjid yang penuh dengan jamaah tidak perhatian dengan sunah, ia melakukan isbal kain turun di bawah mata kaki. Sedangkan masjid yang satunya, imamnya secara umum komitmen kepada sunah secara umum dan sebatas kemampuannya. Kami mohon penjelasannya anda, di masjid mana yang shalatnya lebih utama? Teks Jawaban Banyaknya masjid meskipun dalam satu kawasan adalah tanda baik. Hal itu akan memotivasi masyarakat untuk melaksanakan shalat di rumah-rumah Allah. Akan tetapi pada saat yang sama kami ingatkan beberapa hal Hendaknya bangunan masjid-masjid tidak sangat berdekatan, sehingga tidak menyebabkan perpecahan di antara umat Islam. Bisa jadi pembangunannya ada unsur berlebihan, berbangga-banggaan, dan terkadang sebagiannya ditutup pada beberapa shalat karena tidak adanya jamaah shalat. Agar tidak dilaksanakan shalat Jumat pada kedua masjid tersebut. Yang dipakai shalat Jumat hendaknya masjid yang lebih besar dari keduanya agar semuanya berkumpul untuk shalat pada satu masjid. Membangun masjid di kawasan yang belum ada masjid sama sekali, lebih utama daripada di tempat-tempat yang sudah ada beberapa masjid yang cukup untuk jamaah shalat. Kedua Karena kondisinya seperti yang telah anda sebutkan, maka pendapat kami, hendaknya anda shalat di masjid yang pertama, karena beberapa hal Berkumpulnya jamaah shalat pada satu masjid akan mewujudkan keharmonisan di antara mereka, dan akan menambah keterikatan mereka. Akan diketahui siapa yang sakit untuk dijenguk, dan orang fakir mereka untuk dibantu, dan siapa yang meninggal dunia untuk disholati, dan keluarganya berhak dihibur. Bahwa masjid yang menjadi tempat shalat bagi seluruh penduduk kawasan itu, dapat membantu memberikan pengajaran bagi jamaah dan menasehati mereka. Berbeda dengan terpecahnya mereka pada lebih dari satu tempat. Sehingga jika ada seorang ulama datang untuk mengajar atu seorang dai untuk menasehati sedangkan masyarakat telah berkumpul pada satu tempat, maka kebaikan dan manfaatnya akan sampai kepada mereka semuanya. Setiap kali jumlah jamaah shalat bertambah, maka akan lebih dicintai Allah. Dari Ubay bin Ka’ab –radiallahu anhu-, dia berkata “Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- bersabda وَإِنَّ صَلَاةَ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ وَحْدَهُ ، وَصَلَاتُهُ مَعَ الرَّجُلَيْنِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ مَعَ الرَّجُلِ، وَمَا كَثُرَ فَهُوَ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى رواه أبو داود، رقم 554 والنسائي، رقم 843، وحسنه الألباني في صحيح أبي داود “Dan sungguh shalatnya seorang laki-laki bersama seorang laki-laki lebih suci dari pada shalatnya sendirian, dan shalatnya bersama dua orang lebih suci dari pada bersama satu orang, dan setiap bertambah banyak maka akan lebih dicintai oleh Allah Ta’ala.” HR. Abu Daud, no. 554, Nasai, no. 843. Dinyatakan hasan oleh Al-Albany dalam Shahih Abu Daud Syeikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin –rahimahullah- berkata“Seandainya ada dua masjid misalnya, yang satu lebih banyak jamaahnya dari yang lainnya, maka yang lebih utama adalah shalat berjamaah di masjidyang lebih banyak jamaahnya, karena Nabi –shallallahu alaihi wa sallam- bersabda صَلاةُ الرَّجُلِ مع الرَّجُلِ أزكى مِن صلاتِهِ وحدَهُ ...... “Shalatnya satu orang bersama satu orang lainnya lebih baik dari pada shalatnya seorang diri....”. Kesimpulannya, jika terdapat dua masjid, salah satunya lebih banyak jamaahnya dari masjid lainnya, maka yang lebih utama adalah shalat di tempat yang lebih banyak jamaahannya”. Asy Syarhul Mumti’ ala Zaad al Mustaqni, 4/150-151 juga berkata “Yang lebih utama bagi selain penjaga perbatasan, shalat di masjid yang jamaah tidak dapat dilaksanakan kecuali dengan kehadirannya. Misalnya, ada sebuah masjid tempat masyarakat melaksanakan shalat. Akan tetapi ada seseorang yang jika dia hadir dan menjadi imam, maka shalat jamaah dapat dimulai, dan jika dia tidak hadir, maka masyarakat akan pergi. Maka yang paling utama bagi orang tersebut adalah shalat di masjid tersebut agar dapat memakmurkannya. Karena jika dia tidak hadir, shalat tidak dapat dilakukan dan tidak selayaknya terjadi shalat di masjid diliburkan. Maka shalatnya orang itu di masjid tersebut lebih utama daripada shalatnya di masjid yang jumlah jamaahnya lebih banyak. Akan tetapi, hendaknya dibatasi dengan syarat, masjid tersebut tidak berdekatan dengan masjid yang jumlah jamaahnya lebih banyak. Maka bisa saja dikatakan “Sunggguh yang paling utama hendaknya umat Islam berkumpul di satu masjid, hal ini lebih utama daripada berpecah. Jika misalnya ada masjid lama yang didatangi oleh lima atau sepuluh orang, sementara di dekatnya ada sebuah masjid yang banyak jamaahnya dan tidak jamaah masjid lama tidak kesulitan untuk bergabung ke masjid yang ramai tersebut, maka dapat dikatakan; Lebih baik jika mereka bergabung ke masjid yang ramai dan berkumpul di sana, karena semakin banyak jamaahnya, akan semakin utama”. As Syarhul Mumti ala Zaad al Mustaqni 4/150 Hendaknya anda menasehati imam tersebut, semoga Allah memberi hidayah dan taufik-Nya kepadanya, untuk mengikuti sunah dan bersemangat mengamalkannya. Akhirnya, dapat saja kami memberikan fatwa kepada anda untuk shalat di masjid yang jamaahnya lebih sedikit jika jamah masjid satunya dikenal tidak menyukai sunah, bahkan memeranginya dan orang yang mengamalkannya, dan anda sudah melaksanakan kewajiban memberikan nasehat kepada mereka akan tetapi tidak berguna. Maka dalam kondisi seperti ini, shalat anda di masjid yang di dalamnya dihidupkan amalan sunah dan kalian dapat mengajarkannya kepada masyarakat tidak diragukan lagi lebih baik/utama. Namun karena masalahnya tidak sampai pada taraf seperti ini, maka kami berpendapat hendaknya anda bergabung dalam satu masjid di masjid yang lebih banyak jamaahnya. Semoga Allah memberikan taufik dan hidayah kepada kalian. Wallahu A’lam . 363 114 238 231 13 375 60 219